Selasa, 04 September 2018

Sejarah Desa Citenjo



Diperkirakan pada jaman Negara Indonesia  belum Republik ,masih dalam kekuasaan penjajah Belanda pada saat itu adalah seorang Raja / Ratu yang sangat terkenal dan hebat namanya “ WILHEMINA “
Pada jaman penjajahan Belanda  itulah selama 350  tahun (3 ,5  Abad ) Para sesepuh / Buyut Citenjo mengajukan  pada kuwu Cibingbin agar dapat mempunyai Kuwu sendiri /Mandiri.Rahasia  atau  sebab  yang menjadi  permohonan dan keinginan Citenjo bisa pisah (mekar ) dari Desa Cibingbin  dan berkehendak  mempunyai Kuwu  sendiri Adalah karena Citenjo  sering di bohongi apabila  ada tuntutan  dari Pagusten  dan Kanjeng Bupati  yaitu di pinta upeti  dengan  10  Kerbau  dan kerja bakti semua nya dipojokan khusus pada Citenjo.
Dari dasar itulah  ketiga  Tokoh/ Sesepuh  Citenjo  yaitu ;Buyut Gede ,Buyut Anglar ,dan buyut Jipang  bermusawarah untuk menyelesaikan hal tersebut. Buyut jipang mengutarakan usulnya supaya Citenjo pisah dari Desa Cibingbin. Ide tersebut disetujui oleh Buyut Gede dan Buyut Anglar, tapi yang menjadi permasalahan saat itu, siapakah yang sanggup dan bertanggungjawab menjadi kuwunya. Pada akhirnya Buyut Jipang mengatakan bersedia dan sanggup menjadi Kuwu kalau dipilih oleh masyarakat.
Setelah adanya musyawarah itu diadakan pemberitahuan pada penduduk Desa Citenjo yang jumlahnya saat itu hanya 60 orang, yang terdiri dari 18 orang sikep dan lebihnya orang biasa, anak-anak termasuk balita.
Luas wilayah desa Citenjo pada saat itu hanya kurang lebih 15 Ha yang batas-batasnya sebagai berikut :
§  Sebelah Barat                    :  Lebak (anak sungai) Ciwentang
§  Sebelah Selatan                 : Mata air (etuk Curug) terus ke timur sampai ke blok Cangkuang Desa Cibingbin, terus ke timur sampai  Lebak Cangkuang, ke utara sampai lebak Cimplung (bengkok Juru Tulis) terus ke barat sampai dengan makam.
§  Sebelah Timur                   : bengkok Juru Tulis/Blok Cimplung
§  Sebelah Utara                    : lebak/Anak Sungai Ciwentang
Buyut gede beserta tokoh yang lainnya pada sautu waktu menghadap ke juragan Kuwu desa Cibingbin, dengan maksud memohon untuk pisah/mekar dari Desa Cibingbin. Menanggapi permohonan para tokoh dari Citenjo, Juragan Kuwu Cibingbin kembali bertanya kepada para tokoh yang ada, apakah Citenjo sanggup kalau memisahkan diri dari Cibingbin desanya tidak mempunyai bengkok/Tangsi? Dan pada saat itu juga para tokoh sepakat menyatakan sanggup dan bersedia dengan alas an yang akan jadi Kuwu desa Citenjo adalah Buyut Jipang yang sudah terkenal dengan kekayaannya (jalma Jegud).
Menindaklanjuti permohonan itu, Juragan kuwu Cibingbin membuat surat permohonan dan pemberitahuan pada tingkat Kabupaten, sehingga beberapa waktu kemudian datang surat balasan yang isinya pihak Kabupaten akan menyurpey dan meeriksa ke Citenjo.
Suatu saat yang memeriksa akhirnya datang, penduduk Citenjo semuanya berkumpul di alun-alun Desa Cibingbin siap untuk diperiksa oleh tingkat kabupaten yang dipimpin langsung oleh Kanjeng Bupati di dampingi oleh Kontrolir dan Keresidenan.
Kanjeng Bupati beserta rombongan langsung memeriksa, berkeliling dengan menggunakan tunggangan kuda. Kanjeng Bupati lalu bertanya kepada Juragan Kuwu Cibingbin, “ mana penduduk Citenjo yang asli, ada berapa jumlahnya sampai-sampai ingin memisahkan diri dari Desa Cibingbin dan ingin mempunyai kuwu sendiri? Setelah bertanya kanjeng Bupati berkeliling kembali sampai 3 kali, sesudah selesai langsung pulang tanpa memperdulikan masyarakat Citenjo.
Kanjeng bupati akhirnya tidak mengesahkan/tidak memberikan ijin Citenjo untuk memisahkan diri dari Desa Cibingbin dengan alasan penduduk Citenjo tidak memadai/ jumlahnya sangat sedikit.
Melihat dan menyaksikan hal tersebut, masyarakat Citenjo merasa sedih dan bingung. Akhirnya Buyut Gede beserta sesepuh lainnya bermusyawarah dan mengambil keputusan akan menyusul rombongan Kanjeng Bupati dan rombongan. Hasil musyawarah memutuskan dan mengutus Buyut Gede, Buyut Anglar dan Buyut Wana untuk menjadi perwakilan masyarakat Citenjo menyusul rombongan.
Sepanjang jalan ketiga orang tersebut memanggil-manggil dan memohon berhenti kepada rombongan kanjeng Bupati, tapi yang dipanggil hanya menoleh tanpa memperdulikan ketiga orang tersebut. Tidak begitu lama akhirnya rombongan kanjeng Bupati terkejar oleh ketiga utusan masyarakat Citenjo tepatnya di jalan tanjakan Dogdog. Ketiga orang utusan itu memegang ekor kuda yang ditunggangi Kanjeng Bupati, sampai-sampai kuda tunggangan kanjeng Bupati dan rombongan susah untuk berjalan  karena kelelahan di tarik ekornya oleh ketiga orang tersebut.
Melihat itu semua ketiga utusan masyarakat Citenjo di pukuli dengan cambuk, sehingga topinya (dudukuy harashas) yang di pake ketiga orang tersebut hancur tercabik cabik, tapi ketiga orang utusan tidak bergeming sedikitpun dan tetap memegangi ekor kuda kanjeng Bupati.
Setelah sampai di dataran yang tinggi, kanjeng Bupati dan rombongan berhenti dan memeriksa ketiga orang tertsebut serta menanyakan mengapa ketiga orang tersebut itu berani-beraninya berbuat seperti itu pada Kanjeng Bupati serta rombongan. Perwakilan ketiga orang tersebut menjawab bahwa mereka adalah utusan masyarakat Citenjo bermaksud dan memohon  kepada Kanjeng Bupati agar permohonan Citenjo memisahkan diri dari Desa Citenjo bisa dikabulkan.
Mendengar jawaban dan pernyataan tersebut kanjeng Bupati memerintahkan ketiga orang tersebut untuk pulang dan menyampaikan surat Kanjeng Bupati untuk disampaikan kepada Juragan Kuwu Cibingbin.
Ketiga orang tersebut pulang dan menyampaikan surat tersebut pada Juragan Kuwu Cibingbin. Surat itu di baca yang isinya bahwa : Bupati akan datang kembali ke Desa Cibingbin untuk mengadakan Kodrah (pilihan Kuwu) untuk Desa Citenjo, masyarakat citenjo diharapkan dapat berkumpul pada waktunya di alun-alun Desa Cibingbin.
Mendengar isi surat itu masyarakat Citenjo bergembira hati dan pada saat itu juga Juragan Kuwu Cibingbin memerintahkan pada masyarakat Citenjo untuk bubar dan pulang.
Tiga bulan seteleh pertemuan itu, datang keputusan dari Kanjeng Bupati agar masyarakat Citenjo berkumpul di alun-alun Cibingbin untuk melaksanakan pilihan kuwu (kodrah) dengan calonnya yaitu Buyut Jipang sendiri.
Keesokan harinya masyarakat Citenjo sudah berkumpul di sebelah timur alun-alun Cibingbin dan memisahkan diri dari masyarakat lainnya.
Kanjeng Bupati akhirnya datang di dampingi oleh Kontrolir dan residen, Kanjeng Bupati bertanya pada masyarakat Citenjo : “ siapa yang akan mencalonkan menjadi Kuwu desa Citenjo? Dan dijawab oleh Masyarakat dengan serempak bahwa yang menjadi calonnya adalah Buyut Jipang. Kanjeng Bupati lalu bertanya pada  Buyut Jipang : hai Jipang apakah sampean rela dan ikhlas bila menjadi kuwu tanpa mendapatkan upah/tangsi? Buyut jipang menjawab : saya rela dan ikhlas demi masyarakat Desa Citenjo.
Setelah mendengar begitu, selanjutnya Kanjeng Bupati memerintahkan pada Buyut Jipang supaya duduknya pindah kearah timur laut alun-alun Cibingbin, dan buyut Jipangpun melaksanakannya. Melihat buyut jipang berpindah tempat duduknya, maka masyarakat Citenjo pun mengikuti buyut jipang dengan serempak,tidak seorangun masyarakat yang tinggal.
Lalu kanjeng Bupati memerintahkan kembali pada Buyut Jipang supaya berpindah duduk  kearah yang lain, dan selalu diikuti oleh seluruh masyarakat Citenjo, begitu terus sampai tiga kali pindahan.
Setelah menyaksikan itu semua, kanjeng bupati berbicara : Sekarang sudah terlaksana, pada hari ini, detik ini, Citenjo sudah resmi pisah/mekar dari Desa Cibingbin dan Buyut Jipang resmi menjadi Kuwu desa Citenjo. Selanjutnya Kanjeng Bupati berpesan kepada Buyut Jipang agar segera mengangkat pamong desa sebagai pembantunya, dan itu semua diserahkan sepenuhnya kepada Buyut Jipang sebagai Kuwu desa Citenjo.
Setahun setelah memekarkan diri dari Desa Cibingbin, se Kecamatan Cibingbin mengalami gagal panen sehingga ada beberapa desa yang tidak sanggup membayar dan melunasi pajak, terutama desa Cariang. Desa Dukuhbadag hanya bisa membayar setengah dari jumlah pajak yaitu Rp.30,- dan Rp. 30,- lagi sama sekali tidak bisa dilunasi atau dibayar. ( Kuwu dukuhbadag pada saat itu bernama Ki Gorobog ).
Karena banyak desa yang tidak bisa membayar dan melunasi pajaknya, Kanjeng Bupati memberikan intruksi dan pemberitahuan bahwa : “ barang siapa desa yang bisa membayar pajak desa yang tidak bisa melunasinya, maka silahkan tanahnya akan menjadi hak milik desa tersebut. Karena kekayaannya Kuwu Citenjo (buyut Jipang) menyanggupi untuk membayar pajak desa Dukuhbadag sebesar Rp. 30,- yang tidak bisa dilunasinya. Yang pada akhirnya dari kejadian itu tanah Desa Dukuhbadag terambil oleh desa Citenjo yaitu dari batas sungai Jangkelok ke utara. Batas dari utara adalah llebak Beber , maju ke timur menyusuri sungai sampai lebak Cibanteng. Dari timurnya batas-batas Provinsi Jawa Tengah melintasi  Lebak Cibanteng sampai bertemu dengan batas Desa Cibingbin atau Blok sawah Citisuk.
Batas Desa Citenjo yang dimiliki dari selatan ke barat, dari Citisuk sampai ke blok citiwuan, terus ke sawah Cipalita dan naik ke perkampungan Cangkuang. Menyusuri perkampungan cangkuang lalu ke barat sampai ke mungkruk lalu sampai ke mata air/tuk curug. Dari barat batas lebak Ciwentang ke utara sampai bertemu dengan muara sungai Cijangkelok.
Kuwu pertama ( Buyut Jipang) adalah keturunan orang Cibingbin, karena bapanya orang desa Cibingbin dan ibunya adalah orang Desa Citenjo. Bapanya Buyut Jipang adalah orang yang kaya raya (jegud) sehingga apabila ada biaya atau pungutan dari tingkat Kabupaten selalu dibiayai dari bapanya yang kaya raya.
Buyut Jipang mempunyai seorang anak perempuan bernama Nok Waritem, makanya sampai saat ini di kenal ada tokoh Desa Citenjo yang bernama Buyut Waritem.

1 komentar: