Diperkirakan pada jaman Negara
Indonesia belum Republik ,masih dalam
kekuasaan penjajah Belanda pada saat itu adalah seorang Raja / Ratu yang sangat
terkenal dan hebat namanya “ WILHEMINA “
Pada jaman penjajahan Belanda itulah selama 350 tahun (3 ,5
Abad ) Para sesepuh / Buyut Citenjo mengajukan pada kuwu Cibingbin agar dapat mempunyai Kuwu
sendiri /Mandiri.Rahasia atau sebab
yang menjadi permohonan dan
keinginan Citenjo bisa pisah (mekar ) dari Desa Cibingbin dan berkehendak mempunyai Kuwu sendiri Adalah karena Citenjo sering di bohongi apabila ada tuntutan
dari Pagusten dan Kanjeng Bupati yaitu di pinta upeti dengan
10 Kerbau dan kerja bakti semua nya dipojokan khusus
pada Citenjo.
Dari dasar itulah ketiga
Tokoh/ Sesepuh Citenjo yaitu ;Buyut Gede ,Buyut Anglar ,dan buyut
Jipang bermusawarah untuk menyelesaikan
hal tersebut. Buyut jipang mengutarakan usulnya supaya Citenjo pisah dari Desa
Cibingbin. Ide tersebut disetujui oleh Buyut Gede dan Buyut Anglar, tapi yang
menjadi permasalahan saat itu, siapakah yang sanggup dan bertanggungjawab
menjadi kuwunya. Pada akhirnya Buyut Jipang mengatakan bersedia dan sanggup
menjadi Kuwu kalau dipilih oleh masyarakat.
Setelah adanya musyawarah itu
diadakan pemberitahuan pada penduduk Desa Citenjo yang jumlahnya saat itu hanya
60 orang, yang terdiri dari 18 orang sikep dan lebihnya orang biasa, anak-anak
termasuk balita.
Luas wilayah desa Citenjo pada saat
itu hanya kurang lebih 15 Ha yang batas-batasnya sebagai berikut :
§ Sebelah Barat : Lebak (anak sungai) Ciwentang
§ Sebelah Selatan :
Mata air (etuk Curug) terus ke timur sampai ke blok Cangkuang Desa Cibingbin,
terus ke timur sampai Lebak Cangkuang,
ke utara sampai lebak Cimplung (bengkok Juru Tulis) terus ke barat sampai dengan makam.
§ Sebelah Timur :
bengkok Juru Tulis/Blok Cimplung
§ Sebelah Utara :
lebak/Anak Sungai Ciwentang
Buyut gede beserta tokoh yang lainnya pada sautu
waktu menghadap ke juragan Kuwu desa Cibingbin, dengan maksud memohon untuk
pisah/mekar dari Desa Cibingbin. Menanggapi permohonan para tokoh dari Citenjo,
Juragan Kuwu Cibingbin kembali bertanya kepada para tokoh yang ada, apakah
Citenjo sanggup kalau memisahkan diri dari Cibingbin desanya tidak mempunyai
bengkok/Tangsi? Dan pada saat itu juga para tokoh sepakat menyatakan sanggup
dan bersedia dengan alas an yang akan jadi Kuwu desa Citenjo adalah Buyut
Jipang yang sudah terkenal dengan kekayaannya (jalma Jegud).
Menindaklanjuti permohonan itu, Juragan kuwu
Cibingbin membuat surat permohonan dan pemberitahuan pada tingkat Kabupaten,
sehingga beberapa waktu kemudian datang surat balasan yang isinya pihak
Kabupaten akan menyurpey dan meeriksa ke Citenjo.
Suatu saat yang memeriksa akhirnya datang, penduduk
Citenjo semuanya berkumpul di alun-alun Desa Cibingbin siap untuk diperiksa
oleh tingkat kabupaten yang dipimpin langsung oleh Kanjeng Bupati di dampingi
oleh Kontrolir dan Keresidenan.
Kanjeng Bupati beserta rombongan langsung memeriksa,
berkeliling dengan menggunakan tunggangan kuda. Kanjeng Bupati lalu bertanya
kepada Juragan Kuwu Cibingbin, “ mana penduduk Citenjo yang asli, ada berapa
jumlahnya sampai-sampai ingin memisahkan diri dari Desa Cibingbin dan ingin
mempunyai kuwu sendiri? Setelah bertanya kanjeng Bupati berkeliling kembali
sampai 3 kali, sesudah selesai langsung pulang tanpa memperdulikan masyarakat
Citenjo.
Kanjeng bupati akhirnya tidak mengesahkan/tidak
memberikan ijin Citenjo untuk memisahkan diri dari Desa Cibingbin dengan alasan
penduduk Citenjo tidak memadai/ jumlahnya sangat sedikit.
Melihat dan menyaksikan hal tersebut, masyarakat
Citenjo merasa sedih dan bingung. Akhirnya Buyut Gede beserta sesepuh lainnya
bermusyawarah dan mengambil keputusan akan menyusul rombongan Kanjeng Bupati
dan rombongan. Hasil musyawarah memutuskan dan mengutus Buyut Gede, Buyut
Anglar dan Buyut Wana untuk menjadi perwakilan masyarakat Citenjo menyusul
rombongan.
Sepanjang jalan ketiga orang tersebut
memanggil-manggil dan memohon berhenti kepada rombongan kanjeng Bupati, tapi
yang dipanggil hanya menoleh tanpa memperdulikan ketiga orang tersebut. Tidak
begitu lama akhirnya rombongan kanjeng Bupati terkejar oleh ketiga utusan
masyarakat Citenjo tepatnya di jalan tanjakan Dogdog. Ketiga orang utusan itu
memegang ekor kuda yang ditunggangi Kanjeng Bupati, sampai-sampai kuda
tunggangan kanjeng Bupati dan rombongan susah untuk berjalan karena kelelahan di tarik ekornya oleh ketiga
orang tersebut.
Melihat itu semua ketiga utusan masyarakat Citenjo
di pukuli dengan cambuk, sehingga topinya (dudukuy harashas) yang di pake
ketiga orang tersebut hancur tercabik cabik, tapi ketiga orang utusan tidak
bergeming sedikitpun dan tetap memegangi ekor kuda kanjeng Bupati.
Setelah sampai di dataran yang tinggi, kanjeng
Bupati dan rombongan berhenti dan memeriksa ketiga orang tertsebut serta
menanyakan mengapa ketiga orang tersebut itu berani-beraninya berbuat seperti
itu pada Kanjeng Bupati serta rombongan. Perwakilan ketiga orang tersebut
menjawab bahwa mereka adalah utusan masyarakat Citenjo bermaksud dan memohon kepada Kanjeng Bupati agar permohonan Citenjo
memisahkan diri dari Desa Citenjo bisa dikabulkan.
Mendengar jawaban dan pernyataan tersebut kanjeng
Bupati memerintahkan ketiga orang tersebut untuk pulang dan menyampaikan surat
Kanjeng Bupati untuk disampaikan kepada Juragan Kuwu Cibingbin.
Ketiga orang tersebut pulang dan menyampaikan surat
tersebut pada Juragan Kuwu Cibingbin. Surat
itu di baca yang isinya bahwa : Bupati akan datang kembali ke Desa Cibingbin
untuk mengadakan Kodrah (pilihan Kuwu) untuk Desa Citenjo, masyarakat citenjo
diharapkan dapat berkumpul pada waktunya di alun-alun Desa Cibingbin.
Mendengar isi surat itu masyarakat Citenjo
bergembira hati dan pada saat itu juga Juragan Kuwu Cibingbin memerintahkan
pada masyarakat Citenjo untuk bubar dan pulang.
Tiga bulan seteleh pertemuan itu, datang keputusan
dari Kanjeng Bupati agar masyarakat Citenjo berkumpul di alun-alun Cibingbin
untuk melaksanakan pilihan kuwu (kodrah) dengan calonnya yaitu Buyut Jipang
sendiri.
Keesokan harinya masyarakat Citenjo sudah berkumpul
di sebelah timur alun-alun Cibingbin dan memisahkan diri dari masyarakat
lainnya.
Kanjeng Bupati akhirnya datang di dampingi oleh
Kontrolir dan residen, Kanjeng Bupati bertanya pada masyarakat Citenjo : “
siapa yang akan mencalonkan menjadi Kuwu desa Citenjo? Dan dijawab oleh
Masyarakat dengan serempak bahwa yang menjadi calonnya adalah Buyut Jipang.
Kanjeng Bupati lalu bertanya pada Buyut
Jipang : hai Jipang apakah sampean rela dan ikhlas bila menjadi kuwu tanpa
mendapatkan upah/tangsi? Buyut jipang menjawab : saya rela dan ikhlas demi
masyarakat Desa Citenjo.
Setelah mendengar begitu, selanjutnya Kanjeng Bupati
memerintahkan pada Buyut Jipang supaya duduknya pindah kearah timur laut
alun-alun Cibingbin, dan buyut Jipangpun melaksanakannya. Melihat buyut jipang
berpindah tempat duduknya, maka masyarakat Citenjo pun mengikuti buyut jipang
dengan serempak,tidak seorangun masyarakat yang tinggal.
Lalu kanjeng Bupati memerintahkan kembali pada Buyut
Jipang supaya berpindah duduk kearah
yang lain, dan selalu diikuti oleh seluruh masyarakat Citenjo, begitu terus
sampai tiga kali pindahan.
Setelah menyaksikan itu semua, kanjeng bupati
berbicara : Sekarang sudah terlaksana, pada hari ini, detik ini, Citenjo sudah
resmi pisah/mekar dari Desa Cibingbin dan Buyut Jipang resmi menjadi Kuwu desa
Citenjo. Selanjutnya Kanjeng Bupati berpesan kepada Buyut Jipang agar segera
mengangkat pamong desa sebagai pembantunya, dan itu semua diserahkan sepenuhnya
kepada Buyut Jipang sebagai Kuwu desa Citenjo.
Setahun setelah memekarkan diri dari Desa Cibingbin,
se Kecamatan Cibingbin mengalami gagal panen sehingga ada beberapa desa yang
tidak sanggup membayar dan melunasi pajak, terutama desa Cariang. Desa
Dukuhbadag hanya bisa membayar setengah dari jumlah pajak yaitu Rp.30,- dan Rp.
30,- lagi sama sekali tidak bisa dilunasi atau dibayar. ( Kuwu dukuhbadag pada
saat itu bernama Ki Gorobog ).
Karena banyak desa yang tidak bisa membayar dan
melunasi pajaknya, Kanjeng Bupati memberikan intruksi dan pemberitahuan bahwa :
“ barang siapa desa yang bisa membayar pajak desa yang tidak bisa melunasinya,
maka silahkan tanahnya akan menjadi hak milik desa tersebut. Karena kekayaannya
Kuwu Citenjo (buyut Jipang) menyanggupi untuk membayar pajak desa Dukuhbadag
sebesar Rp. 30,- yang tidak bisa dilunasinya. Yang pada akhirnya dari kejadian
itu tanah Desa Dukuhbadag terambil oleh desa Citenjo yaitu dari batas sungai
Jangkelok ke utara. Batas dari utara adalah llebak Beber , maju ke timur
menyusuri sungai sampai lebak Cibanteng. Dari timurnya batas-batas Provinsi
Jawa Tengah melintasi Lebak Cibanteng
sampai bertemu dengan batas Desa Cibingbin atau Blok sawah Citisuk.
Batas Desa Citenjo yang dimiliki dari selatan ke
barat, dari Citisuk sampai ke blok citiwuan, terus ke sawah Cipalita dan naik
ke perkampungan Cangkuang. Menyusuri perkampungan cangkuang lalu ke barat
sampai ke mungkruk lalu sampai ke mata air/tuk curug. Dari barat batas lebak
Ciwentang ke utara sampai bertemu dengan muara sungai Cijangkelok.
Kuwu pertama ( Buyut Jipang) adalah keturunan orang
Cibingbin, karena bapanya orang desa Cibingbin dan ibunya adalah orang Desa
Citenjo. Bapanya Buyut Jipang adalah orang yang kaya raya (jegud) sehingga
apabila ada biaya atau pungutan dari tingkat Kabupaten selalu dibiayai dari
bapanya yang kaya raya.
Buyut Jipang mempunyai seorang anak perempuan
bernama Nok Waritem, makanya sampai saat ini di kenal ada tokoh Desa Citenjo
yang bernama Buyut Waritem.
Ijin share KK
BalasHapus